Tuesday, August 27, 2013

Bahan Renungan dari notes Oki Setiana Dewi
Pernikahan Imam menjadi renungan untukku. Keputusannya untuk menikah muda saat berusia 20 tahun dan istrinya yang berusia 18 tahun membuatku sangat terkesima. Imam adalah teman sekelasku saat aku dan dia bersama-sama duduk di kelas XI IA 4. Hampir 5 tahun aku mengenalnya ternyata tak ada perubahan yang berarti dalam dirinya. Ia tetap seorang Imam yang kukenal saat SMA dulu. Imam yang penuh dengan senyum dan bahasa Depoknya yang selalu saja membuatku tertawa. Dari dulu.. hingga kini.

Bagi sebagian orang, termasuk Imam, yang telah siap mengemban ‘mitsaqon- ghalizha’ sebuah perjanjian yang tercantum dalam Al-Qur’an sebagai perjanjian yang sangat berat, tentulah menyadari status dan tugas barunya. Ia bukan saja mahasiswa Ilmu komputer UI yang bertanggungjawab menyelesaikan kuliahnya tapi juga seorang suami dan calon ayah yang bertanggungjawab bagi keluarganya.

Keputusan Imam untuk menikah dini adalah hebat. Keputusan teman-temanku yang lain untuk menikah nanti pun hebat.

Menikah dini atau menikah nanti sesungguhnya sama-sama hebat. Tergantung konteks. Menikah dini dengan alasan telah siap lahir bathin, menyambung tali kasih sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum mampu untuk menambah tanggungjawab dan merasa masih mampu menahan gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki diri terlebih dahulu, itu pun adalah orang hebat.

Bukankah memperbaiki diri berarti memperbaiki jodoh?

Mereka adalah orang-orang yang menyadari tak mudah membagi konsentrasi hingga memilih untuk fokus kuliah, fokus menaikkan kualitas diri dengan terus belajar. Tentunya belajar dalam artian luas. Belajar pada siapapun, kapanpun, dimanapun, pada apapun yang membuat dirinya menjadi pribadi yang cerdas dan matang, atau ada beberapa kasus bahwa ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga hingga fokus untuk membantu perekonomian, menyekolahkan adik-adik, membahagiakan orang-orang yang telah begitu berjasa dalam hidupnya. Tidakkah itu golongan orang-orang hebat, ketika ‘kebahagiaan pribadi’ itu pun rela disingkirkan untuk sementara waktu karena kecintaannya pada keluarganya?

Banyak buku bertebaran kini dengan tujuan mengajak menikah muda. Biasanya buku-buku dengan genre seperti itu, laris di pasaran. Market-nya siapa lagi kalau bukan para anak muda. Begitu pula dengan majelis-majelis yang pasti selalu saja ramai didatangi kalau yang menjadi tema tak jauh-jauh tentang menikah muda. Ada asap pastilah ada api.
Buku-buku atau tema-tema itu menjadi sedemikian booming-nya tentu menjadi alasan tersendiri bagi mereka yang prihatin melihat keadaan anak muda masa kini. Daripada ‘aneh-aneh’, ayo menikah! Begitulah kira-kira yang bisa kusimpulkan.

Dampaknya bisa macam-macam. Dampak positifnya para anak muda akan termotivasi untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir bathin-nya untuk bersanding
dengan pujaan hati yang telah lama menjadi idamannya. Yang malas belajar jadi semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi semangat dalam bekerjanya. Wow.. indah bukan? Kalau seperti ini aku pun setuju.

Tapi kulihat ada beberapa teman setelah membaca buku atau mendatangi majelis biasanya semangat menikah begitu menggelora di dada. Terpesona pada kenikmatan
yang di dapat dalam pernikahan. Lupa bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah dien dikarenakan begitu berat perjalanan yang akan dilalui.Belum ada persiapan apa-apa langsung tancep gas saja ingin menikah. Seperti perang. Pisau belum diasah, masih tumpul, sudah main terjun aja ke lapangan. Atau baru punya pisau satu yang tajam, langsung tergesa-gesa ingin bertarung aja. Belum apa-apa musuh udah membuat kita KO dengan senapannya. Maka sebelum berperang, paling tidak sudah punya persiapan pisau, senapan kalau bisa bom sekalian agar bisa menang dalam pertarungan. Hehe..
Maksudku di sini, paling tidak memiliki persiapan yang cukup menuju ke mahligai pernikahan. Masih ingat tulisanku sebelumnya? Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan kegagalan?

Menikah hanya dengan alasan keinginan untuk melindungi dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan dan memperhatikan, ditemani dan menemani agar tak kesepian atau sejenisnya tidaklah cukup. Menikah bukan perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. .. Pertanyaannya kemudian, siapkah kita menjalani tanggungjawab itu? Tanggungjawab untuk mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus rumah tangga bagi perempuan. Menyiapkan sedini mungkin tabungan untuk segala perkara yang tak terduga ( biaya pendidikan, berobat dll). Walau memang pernikahan memperluas rizki, tapi tak berarti ‘nekat’ menikah tanpa memiliki tabungan sedikit pun, bukan? Tentunya kita selalu ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang disayangi. Maka persiapkanlah itu. Tak perlu lantas menunggu menjadi seorang yang kaya raya dahulu baru menikah. Paling tidak memiliki semangat dalam upaya mencari nafkah (dalam artian memiliki sikap mandiri yang wajib diemban bagi mereka yang memilih untuk menikah).memiliki semangat dalam upaya untuk terus belajar dan menyerap ilmu (karena lelaki menjadi imam yang tentu saja harus butuh ilmu untuk membimbing keluarganya. Pun seorang wanita yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya kelak).

Menikah cepat itu baik tapi tidak berarti tergesa-gesa. Tergesa-gesa dikhawatirkan berujung pada kecewa. Salah satu contoh menikah tergesa-gesa, adalah ( pembelajaran bagi kita semua), tak terlalu mengenal sang calon, sudah terbuai dulu pada sosoknya yang begitu kharismatik, ternyata setelah menikah baru ketahuan telah memiliki istri lain.Ingatkan kasus artis kita yang sempat merajai pemberitaan media masa di negeri ini? Contoh lain, setelah menikah ternyata malah merepotkan orang lain. Tak menyangka bahwa begitu banyak persoalan dalam rumah tangga hingga orangtua, kerabat, teman-teman ikut dilibatkan. Waah.. ternyata belum bisa untuk mandiri…

Berhati-hati agar tidak tergesa-gesa menikah berbeda dengan menunda-nunda pernikahan. “Nanti setelah lulus kuliah baru menikah”, setelah lulus sarjana muncul perkataan lain, “setelah S2 dulu deh baru nikah”, “setelah kerja aja deh nikahnya” atau.. “setelah posisiku di kerjaan settle dulu deh”..setelah ini setelah itu dst.. Sampai akhirnya terus menunda.. entah sampai kapan.. bukan seperti itu. Jadi teringat joke salah seorang temanku perihal sikap wanita terhadap lelaki yang mendekati. Wanita berusia 18- 25 tahun, “nanti dulu deh”. 26- 30 tahun,” boleh deh” 31 tahun ke atas, “yang mana aja deh”. hehe…

Sekedar ice breaking:). Ya, apabila telah mengenal calon dan keluarganya dengan baik,
siap lahir batin ditambah sudah tak mampu lagi menahan hasrat, untuk apalagi menunda?

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan..

Seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)

Imam, yang kini telah menjadi imam bagi istrinya, semoga adalah orang yang termasuk diberi pertolongan oleh Allah.. amin..

Sesuai kesepakatan kami, saat kami masih bersekolah dulu, bahwa akan ada piala pernikahan bergilir. Karena Imam yang paling pertama diantara kami, maka Imamlah yang berhak mendapatkannya.

Sebuah piala perak, bertuliskan…

Piala ini milik lelaki sejati. Menjadi juara adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap. Selamat pada kau yang sedang menggenggamnya…

Pemahaman

Segala hal akan dipahami berbeda oleh masing-masing orang, tergantung latar-belakang, pengalaman masa lalu, tujuan, dan hal-hal lain dari orang tersebut.
Maka, ketika kita mengeluarkan isi pikiran kita untuk menanggapi sesuatu dengan menyalahkan apa yang sedang ditanggapinya itu, maka setidaknya kita telah satu-langkah tidak menjadi bijak.
Menyalahkan-membenarkan adalah proses analisis yang panjang dan haruslah terbukti kebenarannya, kebenaran hakiki hanya ada satu, sementara kebenaran manusia itu banyak macamnya.
Ketika orang lain mengeluarkan sebuah pandangan tentang sesuatu yang umum, maka sedih rasanya ketika orang mematahkannya hanya karena dia memiliki masa lalu-pengalaman hidup yang berbeda. Pemahaman dibentuk oleh pengalaman hidup-pengajaran-masa lalu dan banyak faktor lain.
Maka pastilah pemahaman setiap orang itu berbeda, menyalahkan bukanlah sebuah proses pengajaran yang baik untuk menyampaikan sesuatu.
Kesalahan paham terjadi justru karena setiap orang bersikeras dengan pemahamannya masing-masing tanpa mau mendalami-mempelajari apa sih yang menjadi penyebab seseorang memiliki pemahaman seperti itu.
Aku belajar menyampaikan suatu dan aku belajar pula untuk melihat sesuatu dari banyak sudut pandang dan pemahaman, meski aku memiliki pemahaman sendiri, aku harus mempelajari pemahaman lain agar pikiranku tidak menjadi sempit, agar aku tidak selalu membenarkan diri sendiri, agar aku tidak terlalu mudah menyalahkan.

Rumah, Agustus 2013
MASGUN

Menyampaikan Kebenaran

Dalam kehidupan. Dalam interaksi antara satu orang dengan orang lainnya, selalu menimbulkan banyak dampak. Oleh sebab itu Allah memberikan aturan interaksi ini baik dalam skala individu hingga skala masyarakat bernegara.

Dan dalam menyampaikan aturan-aturan Allah tersebut tentu melalui banyak perantara, baik perantara orang berilmu, tulisan, buku, film, dan lain-lain. Banyak sekali caranya.

Sayangnya, banyak dari para penyampai kebenaran melupakan hal-hal yang menurut saya pribadi penting. Yaitu cara menyampaikannya.

Saya mendapati banyak penyampai yang menyampaikan kebenaran —dan itu tentu saja baik— namun justru membuat jauh orang yang diberi kebenaran, karena cara menyampaikannya yang salah.

Bahwa setiap orang memiliki level keimanan yang berbeda-beda, maka ketika kamu menghadapi seseorang dengan level yang berbeda, bijaksanakanlah untuk menyamakan levelmu. Ini seperti seorang sarjana yang intelektualitasnya tinggi hendak memberikan penyuluhan ke orang yang sama sekali tidak sekolah dan tinggal di pedalaman. Gunakanlah bahasa yang tepat.

Seperti sore ini saya membaca postingan tentang aturan hubungan lawan jenis, namun sayang sekali. Cara menyampaikannya kurang halus dan kurang manusiawi. Sehingga, pembaca bukannya tertarik malah ketakutan dan kebingungan. Sehingga jadinya, pesan tersebut tidak sampai dengan baik dan tidak bisa masuk sebagai sebuah pemahaman.

Agama islam mengatur dengan keindahan, dan tentu caranya menyampaikannya pun harus dengan keindahan. Menghadapi kondisi masyarakat/seseorang, penyampai kebenaran harus tahu betul karakter dari masyarakat/seseorang tersebut dan sampaikanlah kebenaran dengan cara yang tepat sehingga mampu menjadi pemahaman.

Analoginya seperti budaya antre, buang sampah pada tempatnya. Di masyarakat kita ini nol besar karena hal itu hanya dipahami sebagai aturan. Bukan pemahaman yang telah masuk ke alam bawah sadar sehingga secara otomatis akan masuk ke dalam perilaku kehidupan. Padahal pelajaran PKn mengajarkan tentang hal itu selama bertahun-tahun, hasilnya orang bersekolah tinggipun bisa dengan mudah buang sampah dimana-mana.

Sampaikanlah kebenaran dengan cara yang baik, jadilah agen muslim yang baik. Dan pernyampaian pun dilakukan dengan cara bertahap dan pendekatan yang tekun. Ini menjadi tanggung jawab penyampai kebenaran.

Saat ini, banyak orang yang menjauh dari agama (islam) karena ketakutan dengan ketatnya aturan hidup. Ketakutan ini timbul karena tidak pahamnya orang tersebut dan kesalahan cara menyampaikan dari para pendakwah. Sedikit-sedikit diancam neraka, ditusuk ini dan itu, dibakar. Sampaikanlah keindahan agama ini dengan cara yang ma’ruf.

Oleh sebab itu pula, saya pribadi sering menyarankan teman-teman saya untuk membaca sastra/novel/roman agar kepekaan perasaannya lebih terasah. Tidak masalah jika sastra/novel/roman yang membahas cinta, apa takut dianggap menye-menye/lembek? Justru orang yang tidak belajar mengenai cinta, tidak akan bisa menyampaikan sesuatu (kebenaran) dengan cinta.

Analoginya seperti menyampaikan kebaikan/kebenaran kepada anak-anak, hindarilah kalimat negatif. Gunakanlah kalimat-kalimat positif dan rasa tanggung jawab terhadap setiap perbuatan.

Allah menciptakan dan menyuruh kita (manusia) untuk beribadah kepada-Nya, itu berarti dia hanya mewajibkan kita memasuki surga-Nya (Ibn Athaillah).

Sekali lagi, sampaikanlah keindahan agama ini dengan cara yang baik :)

Selamat menyampaikan kebenaran.

Bandung, 26 Agustus 2013
( Via : MASGUN on Tumblr)